Padalarang, Bandung Barat – MATAKITA - Ketahanan pangan warga di Kecamatan Padalarang terancam. Sedikitnya 5 hektare sawah produktif di Kampung Purabaya, Desa Jayamekar, terpaksa gagal panen akibat terganggunya sistem irigasi.
Akar persoalan bukan pada kekeringan atau hama, melainkan kerusakan jembatan yang tak kunjung diperbaiki sejak Maret 2025.
Sementara warga harga hanya bisa melewati jalan ambruk ini dengan terbuat seadanya dengan Bambu, Foto : Adhel.Jembatan yang ambruk di Kampung Sukamulya, Desa Padalarang, telah menutup aliran air irigasi utama dari saluran milik PN Kertas.
Akibatnya, selama hampir setengah tahun, air meluber tanpa arah dan tidak menjangkau lahan pertanian warga. Dampaknya, ratusan petani dari tiga kampung harus menelan kerugian besar akibat gagal panen.
“Air irigasi tidak bisa masuk ke sawah. Lima hektare lebih sawah di Jayamekar dan Purabaya dibiarkan mengering,” ungkap CP (52), tokoh masyarakat setempat, Rabu (16/7/2025).
Tak hanya ekonomi petani yang terpukul, akses warga pun terisolasi. Jalan utama penghubung tiga RW—Sukamulya, Ranjabali, dan Sukamaju, terputus.
Warga kini hanya mengandalkan jembatan darurat dari bambu, yang tidak layak secara keselamatan.
“Kalau sampai ada yang celaka gara-gara jembatan bambu itu, siapa yang tanggung jawab? Katanya ada anggaran Rp200 juta dari Dana Desa, tapi tidak jelas ke mana,” keluh CP.
Iman Taufik (42), tokoh masyarakat lainnya, menilai kondisi ini sudah terlalu lama diabaikan. Ia menekankan bahwa akses tersebut bukan sekadar jalur alternatif, tetapi urat nadi aktivitas warga, mulai dari pelajar, petani, hingga pedagang.
“Warga terpaksa memutar hingga 5 kilometer. Anak sekolah tiap hari harus bertaruh nyawa lewat jembatan rapuh itu,” ujarnya.
Warga mendesak agar Pemdes dan pemerintah kecamatan segera bertindak nyata, bukan sekadar janji di atas meja.
Mereka juga mempertanyakan keberadaan bangunan liar di sekitar lokasi yang tak tersentuh penertiban, sementara kebutuhan mendesak warga justru tak diprioritaskan.
“Ini bukan soal mewah atau tidak, tapi soal keselamatan dan hajat hidup kami,” tegas warga.
Menanggapi hal ini, Kepala Desa Padalarang, Karom, mengatakan perbaikan jembatan belum bisa dilakukan karena masih ada sengkarut kewenangan antar-instansi.
“Kami masih menunggu kejelasan, apakah tanggung jawab BBWS Citarum atau PUPR KBB. Kalau sudah pasti, barulah bisa kami geser anggaran pembangunan lain untuk proyek ini,” ujar Karom.
Ia menyebut estimasi biaya perbaikan jembatan mencapai Rp700 juta, termasuk pelebaran dan pembangunan bronjong agar bisa dilalui kendaraan roda empat.
Kesimpulan: Infrastruktur Tertunda, Petani Merana.
Kasus ini memperlihatkan betapa birokrasi yang lambat bisa berdampak langsung pada krisis pangan lokal dan keselamatan warga.
Di tengah kelesuan ekonomi, petani justru harus menghadapi kerugian besar akibat persoalan yang sejatinya bisa diatasi lebih cepat jika koordinasi antarpihak berjalan optimal.
Warga menanti solusi nyata, bukan alasan baru.
Sumber : Liputan
Editor : Adhel