KBB,PADALARANG, - MATAKITA.FUN -
Ketegangan terjadi di Desa Ciburuy, Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, menyusul aktivitas pemasangan tiang jaringan internet oleh PT. Eka Mas Republik (EMR) untuk layanan MyRepublic yang menuai tanda tanya publik soal legalitas perizinan dan koordinasi antarlembaga pemerintahan Pada Selasa, 15 Juli 2025.
Informasi yang dihimpun oleh matakita.fun mengungkap bahwa tiang jaringan tersebut telah berdiri di sejumlah titik di wilayah RW 02 dan RW 04 Desa Ciburuy, tanpa kejelasan soal dasar perizinannya. Warga menduga, kegiatan tersebut berlangsung tanpa prosedur resmi dari pemerintah kabupaten.
Saat dikonfirmasi, Camat Padalarang, Agoes A.S., menegaskan bahwa pihak kecamatan tidak pernah mengeluarkan surat izin ataupun rekomendasi.
“Izin itu bukan wewenang kami. Itu ranah dinas teknis, bukan kecamatan,” ujar Agoes melalui pesan WhatsApp kepada Redaksi matakita.fun.
Namun hasil penelusuran menunjukkan bahwa Pemerintah Desa Ciburuy telah menerbitkan surat rekomendasi survei dan pemetaan untuk PT. EMR pada 10 Juni 2025 dengan Nomor: 140/53/DS/VI/2025. Surat tersebut mengizinkan survei jaringan FTTH (Fiber To The Home), dengan catatan harus menjaga ketertiban dan melibatkan perangkat RT-RW setempat.
Pekerjaan Perbaikan atau Pemasangan Baru?
Pihak vendor di lapangan mengklaim bahwa kegiatan tersebut bukan pemasangan baru, melainkan perbaikan dan pengecoran ulang tiang lama yang sebelumnya sudah dipasang di wilayah Desa Kertamulya.
Hal ini disampaikan langsung oleh Tio, selaku koordinator lapangan dari PT. EMR.
“Ini hanya pengecoran ulang untuk memperkuat struktur lama. Bukan tiang baru,” ujar Tio kepada Tabloid Besty.
Namun kontroversi makin melebar ketika muncul kabar bahwa salah satu tiang di RT 01 RW 02 sempat dicabut atas permintaan warga, karena dianggap menjadi akses bagi tindak kriminal pencurian.
Pihak perusahaan mengaku sudah merespons dengan pemindahan lokasi dan pemasangan ram kawat pengaman.
Di Antara Celah Regulasi dan Sosialisasi.
Fenomena ini memperlihatkan adanya kekosongan komunikasi antara tingkat desa, kecamatan, dan dinas teknis.
Di satu sisi, desa menganggap surat rekomendasi cukup untuk memfasilitasi kegiatan awal, sementara di sisi lain, pihak kecamatan dan warga mempertanyakan legalitas serta tujuan pasti dari kegiatan tersebut.
Menurut sumber dari pemerintahan, pemasangan infrastruktur jaringan, termasuk tiang dan kabel, memerlukan izin dari dinas teknis di tingkat kabupaten atau provinsi, bukan hanya rekomendasi desa. Tanpa dokumen resmi tersebut, maka setiap aktivitas di lapangan berisiko melanggar regulasi.
Cermin Lemahnya Koordinasi.
Kisruh ini menjadi cermin lemahnya koordinasi antarlembaga yang berdampak langsung pada kepercayaan publik. Banyak warga merasa tidak diberi informasi cukup dan justru terkejut dengan munculnya tiang di sekitar rumah mereka.
“Harusnya ada pemberitahuan dulu, bukan tahu-tahu tiang sudah berdiri,” keluh salah satu warga RW 02 yang enggan disebutkan namanya.
Pembelajaran bagi Semua Pihak.
Kejadian ini harus menjadi pembelajaran kolektif.
Bukan sekadar soal kabel dan tiang, tapi soal kejelasan alur komunikasi, kordinasi, serta edukasi publik.
Masyarakat berhak tahu, pemerintah wajib mengawal, dan perusahaan mesti patuh terhadap aturan.
Ketika internet menjadi kebutuhan utama, jangan sampai pembangunan infrastrukturnya justru meninggalkan rasa tidak nyaman dan konflik yang tidak perlu di tengah warga.